Sakramen Simulakra
Meréka Merèka, Tiru-Meniru

Celetuk Pelatuk
Sore itu, seperti biasa saya sedang mendengarkan lagu.
Benak saya melayang ke zaman pra-Spotify, saat dulu andalan saya dalam menemukan lagu-lagu kesukaan baru masihlah fitur similar artists di situs Last.fm.
Berkat perkembangan teknologi informasi, sekarang sudah banyak lagu dari band-band skena bawah tanah yang dapat dengan mudah mendarat di telinga khalayak arus utama. Genre-genre yang dulunya niche sudah menjadi lazim.
Saya tidak tahu bagaimana fenomena ini tampak dari sudut pandang musisi, mungkin mereka senang-senang saja karena karyanya jadi didengarkan orang banyak. Toh makin lancar juga profit yang masuk ke kantong mereka.
Lalu saya teringat gerutu dari salah satu kawan saya yang kebetulan menggemari band lawas Joy Division, saat melihat segerombolan pelajar sekolah menengah yang mengenakan atribut band tersebut:
“Apa dah, sekarang banyak bocah gaya-gayaan make kaos Joy Division. Palingan ga ngerti lagunya juga.”
Sebenarnya saya bisa agak maklum. Paling-paling, bocah-bocah itu cuma sedang berusaha agar disukai kawan-kawannya di sekolah — cuma sedang menuruti konformitas saja. Manifestasi klasik dari tekanan sejawat.
Meski saya sendiri bukan penggemar Joy Division dan tidak begitu tahu lagu-lagunya, dari celetukan sinis itu saya sedikit mengerti: menyebalkan juga ya, orang yang cuma ikut-ikutan tren.
Racun Karbida
Familier dengan istilah karbitan?
Sebutan berkonotasi negatif tersebut merujuk kepada seseorang yang melakukan sesuatu secara “cuma ikut-ikutan” atau “karena sedang ngetren” saja. Lazimnya digunakan dalam konteks fandom (ke-penggemar-an), semisal di kancah suporter sepak bola atau fanatik grup musik.
Sosok karbitan merupakan momok bagi kalangan yang menilai dirinya sebagai fans sejati. Bagi kalangan tersebut, seorang karbitan adalah fans yang hanya ingin enaknya saja, dalam artian, baru mengaku sebagai penggemar ketika subjek kegemarannya sedang viral atau naik daun. Jenis manusia seperti ini dikenal juga dengan istilah glory hunter.
Konon, kata karbitan mendapatkan namanya dari senyawa karbit atau kalsium karbida (CaC2), yang digunakan dalam reaksi pembentukan gas asetilena (C2H2). Selain untuk pengelasan, salah satu kegunaan karbit adalah untuk menghangatkan buah-buahan sehingga lebih cepat matang.
Dari sana lahirlah istilah “karbidan” (bentuk baku dari karbitan, menurut KBBI), yang mengacu pada sesuatu yang dipaksakan untuk matang padahal masih belum waktunya — semacam romansa bocah sekolahan.
Selain menyebalkan, fenomena “ikut-ikutan” juga perlu diperhatikan sebagai sesuatu yang niscaya dan berbahaya — mungkin, dampaknya tidak main-main.
Penawar: Konformitas
Sekitar dekade 1950-an, psikolog gestalt Solomon Asch melangsungkan serangkaian percobaan yang kini dikenal sebagai eksperimen konformitas Asch atau paradigma Asch.
Pertanyaan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah apakah dan bagaimana individu akan mengikuti atau menolak kelompok mayoritas, serta pengaruhnya terhadap kepercayaan dan pendapat.

Asch menyiapkan dua lembar kertas bergambarkan garis-garis seperti di atas. Kemudian, subjek eksperimen diberikan pertanyaan yang sederhana:
Di antara ketiga garis (A, B, dan C) di kertas sebelah kanan, garis manakah yang memiliki panjang sama dengan garis di kertas sebelah kiri?
Mudah, bukan?
Partisipan penelitian dibagi ke dalam dua kelompok: kondisi kontrol dan kondisi eksperimental. Subjek pada kondisi kontrol diuji secara privat. Sedangkan subjek pada kondisi eksperimental ditempatkan dalam sebuah kelompok yang — selain satu orang subjek tersebut — seluruhnya berisi aktor-aktor yang berperan sebagai subjek eksperimen fiktif.
Aktor-aktor tersebut memiliki satu tugas, yaitu memberikan jawaban yang salah.
Dengan soal yang demikian lugas, bagian menariknya akan terlihat pada pilihan yang pada akhirnya diambil oleh subjek eksperimen. Apakah subjek akan berpegang teguh pada jawaban yang diyakininya benar secara personal, atau mengikuti konsensus mayoritas bahkan ketika jawabannya jelas-jelas keliru?
Tanpa terjun terlalu jauh dalam bahasan metodologi, temuan yang diperoleh dari eksperimen tersebut kurang-lebih seperti ini:
- Pada kondisi kontrol, tanpa adanya tekanan untuk tunduk pada siapa pun, tingkat kesalahan pada jawaban subjek tidak melebihi 1%.
- Pada kondisi eksperimental, mengikuti pengaruh jawaban mayoritas, tingkat kesalahan subjek meningkat hingga 36.8%.
Asch sendiri — selaku penggagas eksperimen tersebut — merasa terganggu dengan hasil yang didapatkannya. Beliau pun berujar, dan saya kutip:
“The tendency to conformity in our society is so strong that reasonably intelligent and well-meaning young people are willing to call white black. This is a matter of concern. It raises questions about our ways of education and about the values that guide our conduct.”
Saya menginterpretasikan temuan tersebut sebagai berikut:
Hanya karena “ikut-ikutan”, kemungkinan terjadinya distorsi kebenaran dapat meningkat hingga 40 kali lipat.
Eksposisi Tituler
Simulakra adalah bentuk plural dari simulakrum, yang dapat diartikan sebagai “tiruan yang bernilai inferior dari objek aslinya” — sebuah representasi sekunder yang nihil substansi.
Friedrich Nietzsche (filsuf favorit saya) pernah menyatakan konsep yang mirip — meski tidak secara eksplisit menggunakan terminologi “simulakrum” — dalam bukunya Twilight of the Idols (1889).
Beliau mempertimbangkan bahwa kebanyakan filsuf, sembari mengabaikan masukan yang dapat diandalkan dari indra-indranya dan langsung beralih ke konstruksi bahasa dan logika, akan terdampar pada salinan realitas yang terdistorsi.
Gampangnya: kita sering mendefinisikan sesuatu hanya berdasarkan apa yang kita tahu, biasanya sih karena malas mencari bukti empiris. Sehingga definisi yang pada akhirnya kita dapatkan cuma sebatas “sesuatu menurut kita” bukan “sesuatu sebagaimana adanya.”
Jika kita dikaruniai pengetahuan yang memadai, mungkin distorsi tersebut dapat terminimalkan sehingga pandangan kita tidak melenceng terlalu jauh dari realitas yang hakiki. Tapi coba bayangkan jika sebagian besar umat manusia mendefinisikan realitas hanya dengan modal “ikut-ikutan.”
Mungkin kebenaran hanya akan tersisa sebagai gambaran buram.
Entahlah, Saya Bingung
Pemantiknya sepele, tapi pikiran saya mengular ke mana-mana. Sepertinya tak hanya soal selera musik. Dalam semua perkara, kita akan selalu bertemu konformitas. Akan selalu ada kubu yang mengikuti dan diikuti — dari tren busana sampai vonis pidana, dari finis pertama sampai konflik agama.
Pada satu atau lain waktu, pasti ada saja keputusan yang diambil cuma berdasarkan ikut-ikutan. Lucu saja membayangkan kira-kira betapa banyak di antara keputusan-keputusan seperti itu yang berujung pada peristiwa krusial.
Siapa tahu ini efek kupu-kupu, dan kebenaran pun cuma hasil tiru-meniru.
Jangan-jangan kebenaran cuma simulakrum yang dianggap sakral.
Referensi:
Pesiar
Frigg, 1 Mars
A.D. 2019
Menurutmu bagaimana?
_