Saban Hari Sebatang Kara

Tragikomedi Autodiagnosis

Adam Aushaf
6 min readJul 31, 2018
Foto: Aushaf Widisto, 2017

Waktu Bagian Kelam

Pukul dua belas malam, seorang diri di kasur memandang kosong ke langit-langit kamar. Berusaha tidur tapi tak bisa karena entah kenapa, banyak sekali yang berlalu-lalang dalam pikiran. Berat kelopak tak sebanding dengan ingar-bingar otak, maka jadilah mata tertahan membuka meski lelah sampai esok pagi merekah.

Seingatmu, kamu sehat saja sepanjang hari, tapi sekarang dada sesak sekali.

Meski sendirian saat ini bukan berarti tak ada siapa-siapa sehari-harinya. Keluarga di kampung halaman, teman-teman di rumah masing-masing. Bawah sadarmu memahami itu, tetapi tetap saja rasanya dunia kejam tak terkira dan tak ada pundak untukmu menyandarkan kepala.

Terdengar familier? Jangankan aku dan kamu, bocah paling sanguin di muka bumi pun pasti punya saat-saat seperti itu barang sekali-dua kali.

Sebagai gambaran, di Indonesia saja tercatat lebih dari 2 juta kasus depresi per tahun (Mitra Keluarga, 2018), dan kita tahu tak hanya satu gangguan mental itu saja yang patut diberi perhatian.

Bukan cuma badan, benak manusia juga amat rentan terjangkit penyakit. Selain itu, kondisi psikis tidak sekasatmata keadaan fisik. Mudah sekali terlewatkan, terabaikan terlebih jika sejak awal tidak sungguh-sungguh diperhatikan.

Terlanjur kronis sebelum ada yang sadar, sedangkan khronos tak bisa diputar.

Bahaya Laten: Sok Tahu

Dulu saat saya baru memasuki perguruan tinggi, ada salah satu kalimat propaganda yang sering dilempar-lempar di seantero kampus. Menurut saya kalimat tersebut cukup meninggalkan kesan:

“Di sini adalah tempat setiap tanya ada jawabannya.”

Yah, mungkin benar, mungkin juga tidak. Entahlah.

Berangkat dari anekdot iseng tersebut dan berpindah ke topik berikutnya; bagi saya sendiri (dan hampir seluruh umat manusia, sepertinya) tempat bertanya dan selalu ada jawaban adalah Tuhan, yang pertama dan paling utama.

Lalu yang kedua adalah internet.

Sebaiknya saya bahas yang kedua saja.

Sebagaimana segala yang lain, perihal psikologi dan psikiatri pun dapat dengan mudah ditemukan melalui situs-situs penelusur. Saat seseorang merasa terlalu banyak murung atau sesak terkurung, ketimbang mendatangi biro psikologi atau rumah sakit jiwa untuk mendapat pemeriksaan medis, agaknya jauh lebih mudah untuk menerka sendiri gejala-gejalanya lalu bertanya pada dunia maya.

Tidak jarang informasi yang ditemukan terasa tepat sasaran. Deskripsi penyakit beserta ciri-cirinya tampak sesuai dengan kondisi yang dialami. Dengan triangulasi mandiri, biang kerok perusak suasana benak pun terdefinisi sendiri tanpa perlu merogoh kocek di depan kasir klinik.

Tapi validkah jawaban tersebut?

Dalam esainya Wanted — A Good Cookbook (1956), Paul Meehl mengemukakan gagasan mengenai sebuah fenomena yang disebutnya sebagai Efek Barnum (dikenal juga dengan nama Efek Forer).

Konsep tersebut menjelaskan kecenderungan manusia untuk secara berlebihan menilai keakuratan sebuah pernyataan yang mendeskripsikan kepribadiannya, meski sesungguhnya pernyataan tersebut bersifat sangat umum dan bisa saja disesuaikan dengan siapa pun.

Irasionalitas akal manusia yang inheren ini sering dimanfaatkan dalam hal-hal seperti astrologi, ramalan nasib, tafsiran aura, serta beberapa jenis tes kepribadian; termasuk dalam deskripsi gangguan mental tertentu.

Sebagai contoh, gejala berupa perasaan murung berkelanjutan seringkali diidentikkan dengan depresi (major depressive disorder). Padahal depresi sendiri memiliki banyak subtipe dengan karakteristik yang berbeda-beda, seperti melancholic, atypical, catatonic, postpartum, dan S.A.D. (seasonal affective disorder). Selain itu, tidak sedikit pula penyakit kejiwaan lain yang memiliki gejala mirip dengan depresi, sebut saja anxiety disorder atau bipolar disorder.

Bagi seorang awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan terkait, sangat mudah untuk terjebak dalam misdiagnosis. Begitu bertemu deskripsi yang terasa sesuai, lantas seketika ditarik kesimpulan bahwa penyakit inilah yang tengah diderita. Padahal temuan tersebut masih tergolong umum dan belum tentu mengarah ke kondisi spesifik yang terjadi secara empiris.

Bisa saja kategorisasi gangguan yang dilakukan tersasar ke subtipe yang salah, atau bahkan jenis gangguannya sendiri saja sudah keliru. Lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin juga seorang individu memiliki lebih dari satu gangguan mental dalam satu waktu.

Lalu individu tersebut, dengan silap memercayai bahwa ia mengidap penyakit yang sebenernya tidak ada sama sekali.

Mungkin kalimat berikut ini klise, tapi patut diperhatikan baik-baik:

Untuk mendapatkan diagnosis akurat, sila konsultasi ke praktisi profesional yang tepat.

Kesimpulannya: jangan sok tahu.

Pahlawan Tragis

Manusia selalu ingin senang dan tak pernah mau sedih; namun lucunya, sebesar apa ia menggemari komedi, sebesar itu pula ia menggandrungi tragedi.

Syaratnya satu: penggambaran yang indah.

Tak ada yang peduli pada seseorang yang sekaligus ceroboh nan menyedihkan; tapi kita menyukai depiksi bocah-bocah ceroboh yang bisa ditertawakan, juga jagoan-jagoan dengan latar belakang menyedihkan.

Demikian, tidak sedikit yang lantas ingin jadi pusat perhatian.

Mulai dari arketipe badut kelas hingga pilihan karir sebagai pelawak profesional, bagi komedi.

Sedangkan, untuk tragedi ada arketipe ratu drama hingga lahan pencarian nafkah berupa koar masalah personal di kanal-kanal media publik.

Kemudian, mengamini kalimat di awal pasal ini: agaknya sebanyak apa yang ingin menjadi nyawa segala tawa, sebanyak itu pula yang bermimpi menjadi protagonis dalam kisah tragis —

— yang indah, khususnya.

Sudut Pandang Generasi

Sedikit disclaimer untuk bagian akhir ini:

Saya tidak memiliki data yang bisa dibilang valid, dan memang tidak mencari. Fenomena yang hendak saya angkat di sini semata berasal dari pengamatan sehari-hari.

Menyilangkan perihal gangguan mental dengan arketipe pahlawan tragis yang keduanya telah dibahas sebelumnya, bagian ini akan bercerita mengenai sebuah pola yang sering saya temukan dan perhatikan di lingkungan sekitar saya— dan, kalau mau jujur, juga dalam diri saya sendiri.

Penyakit adalah penderitaan. Untuk hal tersebut saya rasa cukup banyak yang sepakat. Namun, sakit dan derita memiliki sisi lain yang jarang dijamah ataupun diakui keberadaannya. Sekilas sisi lain tersebut dapat ditemukan pada ungkapan-ungkapan seperti no pain, no gain atau what doesn’t kill you makes you stronger.

Terlepas dari apakah bentuknya berupa luka goresan belati maupun nyeri patah hati, setelah rasa sakit tersebut berakhir akan tersisa secercah kebanggaan. Ia yang masih hidup setelah melewati penderitaan adalah seorang penyintas, dan seorang penyintas adalah individu yang tangguh.

Agaknya itulah yang membuat depiksi pahlawan tragis begitu menarik bagi manusia, hingga tidak sedikit yang mencoba mereplikasinya ke dalam kehidupan nyata. Trauma masa lalu yang kelam seperti riwayat rawat inap atau perceraian rumah tangga tidak lagi menjadi cacat, melainkan semacam ujian yang berhasil disintasi — sebuah lencana penanda ketangguhan.

Demikian pula halnya dengan gangguan mental seperti depresi. Ia memang sesuatu yang perlu disembuhkan, namun dengan adanya penyakit tersebut, seorang individu paragon sekalipun dapat memiliki sebuah cela yang menjadikannya manusiawi dan lebih mudah disukai.

Alhasil, banyak figur yang secara sadar ataupun tidak sadar mencoba untuk mengidentifikasi sebuah gangguan mental pada dirinya sendiri.

Terutama mereka yang berada dalam masa pubertas hingga yang sedang melalui krisis seperempat baya — singkatnya, mereka yang sedang haus-hausnya akan pengakuan.

Konklusi Inkomplet

Pada akhirnya, saya rasa tulisan ini adalah kilikan bagi siapa pun yang merasa pas atau relate dengan apa yang telah dijabarkan — tidak terkecuali diri saya pribadi.

Seringkali kita mengada-adakan sesuatu yang tidak ada, demi hal sesederhana pengakuan dari orang lain. Kadangkala kita melakukannya bukan dengan niat berbohong ataupun menipu, bahkan belum tentu kita melakukannya secara sadar — kita hanya larut dalam delusi kita sendiri, dan tanpa sengaja memercayai sesuatu yang salah.

Gangguan mental adalah bahaya yang nyata. Jika ada gejala yang mungkin menjadi indikasi, segeralah cari pertolongan. Awali dengan keluarga atau teman terdekat, lalu ke psikolog atau psikiater berlisensi resmi untuk mendapat tindakan lebih lanjut.

Namun, jangan pula keliru merumitkan soal yang sederhana. Pastikan betul-betul apakah itu penyakit sungguhan atau sekedar perihal dangkal yang terlalu banyak diberi makan.

Seringkali, yang kita butuhkan untuk sembuh tidak sampai seserius pengobatan medis — cukup anugerah-anugerah kecil yang tak pernah kita syukuri ketika menyendiri setiap hari.

Seperti playlist kafe yang kebetulan sesuai selera, seduhan kopi yang sinergis pahit dan asamnya, cengiran manis dari gadis di seberang meja, atau kawan bercerita yang setia siap sedia.

Diskus
Tyr, 31 Julius
A.D. 2018

Juga dipublikasikan dalam Citizen: Mental Health oleh Virginia Dara Riano dkk.

Ide tentang bahasan sedikit banyak berasal dari obrolan dengan Khairana Tiardi, Carlos Nemesis Tondok, dan Abizard M.

_

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Adam Aushaf
Adam Aushaf

Written by Adam Aushaf

No longer writing on Medium. Read my essays for free on Substack: aushaf.substack.com.

No responses yet

Write a response