Menyempurna dalam Penelantaran

Kalau aku terus begini, ujungnya apa?

Adam Aushaf
5 min readDec 19, 2019

Pada siang hari yang cantik ini, aku meliburkan diri untuk duduk-duduk di samping jendela, sengaja menempatkan diri dalam situasi yang memperparah kecenderungan melamun. Sambil mengunyah es batu, kulayangkan tatapan kosong ke arah jalanan yang tengah digempur badai.

Dengan pena dan buku saku di atas meja, aku memutar waktu.

Prolog: Scholas, Teras, dan Hujan Deras

Akhir pekan yang silam, aku mengheningkan malam dari teras indekos seorang teman. Sambil menunggu datang dan perginya rintik, ia dan aku sama-sama banyak bercerita, seperti dalam pertemuan-pertemuan kita di saat dan tempat lain.

Ada satu pertanyaan yang sudah cukup lama tersangkut dalam benakku, tetapi tak kunjung bisa kubahasakan. Entah bagaimana, saat itu aku berhasil merangkainya dalam kata-kata yang dapat dimengerti:

Mengapa aku merasa lebih baik ketika meninggalkan orang lain?

Temanku sekerjap membisu, berusaha memahami maksudku. Aku melanjutkan bercerita sembari menunggunya bersuara.

I. Terbis lalu Terbit

Dalam The Courage to Be Disliked (2013), Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menyajikan introduksi ringkas (dalam format Dialog Sokratik) mengenai gagasan-gagasan Alfred Adler, seorang psikolog berkebangsaan Austria.

Psikologi Adlerian banyak menggarisbawahi perihal inferioritas, sebagai salah satu bagian dalam bahasan sentral terkait perkembangan kepribadian dan hubungan antar individu. Konon, beliau pernah mengemukakan bahwa “semua masalah adalah masalah hubungan interpersonal.”

Dalam perihal hubungan interpersonal, banyak orang — kawan, guru, keluarga — pernah memberiku nasihat yang sama: Jangan terlalu berharap pada manusia.

Agaknya, kalimat tersebut diniatkan untuk melindungi kita dari perasaan kecewa. Aku memaknainya sebagai imbauan untuk ikhlas tiap kali kebaikan yang kita berikan tidak dibalas dengan kebaikan yang sama.

Ketidakadilan semacam itu bukan hal yang langka dalam kehidupan manusia mana pun. Bukan tak mungkin kamu pernah diremehkan oleh orangtuamu sendiri. Atau diabaikan oleh teman-temanmu ketika sedang butuh-butuhnya. Atau ditinggalkan oleh seseorang yang kamu sayangi tanpa alasan jelas.

Tidak sedikit orang-orang di sekitarku yang remuk rengsa ketika bertemu masalah-masalah semacam itu. Lantas mereka hilang berminggu-minggu, menjaga jarak dengan manusia lain, bahkan beberapa sampai sengaja melukai diri sendiri dan menyatakan ingin mati.

Hidupku sendiri tak lepas dari kejadian-kejadian tak mengenakkan serupa. Namun, barangkali aku masih cukup beruntung karena selalu dipertemukan dengan hal-hal yang mendorongku ke arah yang benar, membolehkanku untuk bangkit setiap kali ditumbangkan.

Dalam Götzen-Dämmerung (1889), Nietzsche pernah bilang:

Was mich nicht umbringt macht mich stärker.”

(“Apa yang tak membunuhku akan menjadikanku lebih kuat.”)

Namun, aku juga berpikir seperti ini:

Setelah berulang kali hampir terbunuh, sekalipun kamu menjadi lebih kuat, bukankah wajar jika ada sebagian dirimu yang tetap rusak?

II. Lantak, dan Tetap Seperti Itu

Barangkali, sebagian yang rusak dalam diriku adalah empati.

Pada titik ini, telah menjadi mudah — terlampau mudah — untuk menghapus seseorang lalu melanjutkan hidup tanpanya. Mengosongkan bagian otak yang bertugas mengelola relasi. Membuka luas ruang untuk mengembangkan diri, untuk leluasa mengalihkan perhatian pada pekerjaan dan renjana. Bebas bepergian tanpa masa lalu sebagai bagasi.

Mungkin kedengarannya positif, tapi kebaikan apa pun jika ditarik sampai taraf ekstrem akan jadi buruk.

Lambat laun, proses ini bertransformasi menjadi siklus seperti demikian:

berharap pada seseorang > dikecewakan olehnya > diri hancur > menghapus orang tersebut dari benak > fokus pada diri sendiri > diri berkembang > diri sembuh > kembali ke awal

Daur tersebut bergulir dengan natural, dengan sesekali diselingi perasaan tidak enak semacam gundah atau sedih.

Sampai sini pun, beberapa orang akan menganggap tendensi ini baik, karena ia mengarahkan kita untuk mengabaikan segala hal yang banal, dan fokus pada perkembangan diri. Semacam coping mechanism yang secara konstan meningkatkan kualitas kita sebagai individu — sejalan dengan kutipan klise, “Work hard in silence, let your success be the noise.”

Namun, menurutku, pola berpikir ini menjadi tidak sehat begitu sampai pada satu titik tertentu:

Saat kita menemukan kenyamanan dalam tindakan “meninggalkan orang lain.”

Ketika kita terus-menerus maju, meninggalkan orang lain dalam debu, akan ada waktu di mana kita merasa lebih baik bukan karena pesatnya perkembangan diri kita sendiri, melainkan karena jauhnya jarak yang kita antarai dalam proses perkembangan tersebut.

Dan kita pun kembali pada pertanyaan di awal tadi.

III. Hora Telos

Pada akhirnya, mungkin kecenderungan untuk “meninggalkan orang lain dan fokus mengembangkan diri” ini takkan dipandang sebagai cacat, justru sebagai kondisi yang ingin dituju — dan itu bisa dimengerti.

Wajar jika kamu ingin terus berkembang tanpa terhambat masa lalu. Boleh jadi, orang-orang seperti ini termasuk kalangan yang beruntung karena bisa move on demikian mudahnya.

Namun, anugerah ini — kalau bisa disebut anugerah — memberiku pertanyaan lanjutan: Kalau aku terus begini, ujungnya apa?

Dalam salah satu diskursus Adlerian yang lain, terdapat bahasan mengenai dikotomi Etiologi vs Teleologi — dua sudut pandang yang digunakan untuk meninjau subjek berdasarkan dua titik yang letaknya berlawanan. Etiologi meninjau subjek berdasarkan asal, sedangkan Teleologi berdasarkan tujuan.

Mempertimbangkan arah gerak waktu yang melaju ke depan, Adler sendiri lebih banyak menggunakan sudut pandang Teleologi. Prinsip tersebut sejalan dengan ucapan Chilon dari Sparta, salah satu dari Tujuh Orang Bijak dari Yunani:

“Hora telos.”

(“Melihat akhir, mempertimbangkan akibat.”)

Maka, dalam upaya melepaskan diri dari siklus ini, aku melihat akhir dan mempertimbangkan akibat, lalu menyusun pertanyaan baru:

Kalau aku terus-menerus berkembang sembari meninggalkan orang-orang yang mengecewakanku, dengan premis bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa diharapkan dan sewaktu-waktu niscaya mengecewakan, apakah itu artinya aku akan selalu menjadi orang yang lebih baik, sekaligus selamanya sebatang kara?

Epilog: Pertaruhan yang Patut Dicoba

Pada akhirnya, temanku tidak memberikan antitesis untuk melanjutkan diskusi. Ia hanya menyatakan pengertiannya terhadap buah pikiran yang kukemukakan, juga bahwa aku aneh sekaligus langka karena bisa-bisanya melihat lewat sudut pandang seperti itu.

Sebetulnya ia tidak secara tersurat memberiku saran atau arahan. Namun, entah kenapa mengobrol dengannya memungkinkanku untuk menata pemikiranku sendiri dengan lebih rapi sehingga bisa kubahasakan.

Benar adanya. Selain pena dan buku saku — dan gawai-gawai lain yang lebih canggih — perangkat yang baik untuk menyusun gagasan adalah kawan yang satu frekuensi.

Manusia memang tidak bisa diharapkan. Namun, meski risiko kecewa takkan pernah betul-betul nihil, barangkali ada beberapa relasi yang layak untuk dijaga. Seperti pertemananku yang satu ini.

Pertanyaanku belum terjawab, tapi aku merasa sedikit lebih baik.

Truk Kuning
Thor, 19 Decem
A.D. 2019

Sudah lama tidak menulis yang seperti ini, semoga ada manfaatnya.

_

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Adam Aushaf
Adam Aushaf

Written by Adam Aushaf

No longer writing on Medium. Read my essays for free on Substack: aushaf.substack.com.

No responses yet

Write a response